Sejumlah warga menyaksikan terjadinya banjir lahar dingin di aliran Kali Putih yang mengalir di tengah jalan raya Magelang-Yogyakrta Dusun Gempol, Jumoyo, Magelang, Jateng, Kamis (20/1). Jalan raya Magelang-Yogyakarta kembali ditutup total akibat banjir lahar dingin Merapi kali ke tujuh tersebut.(FOTO ANTARA/Anis Efizudin )

Yogyakarta (ANTARA News) - Banjir lahar dingin pascaerupsi Gunung Merapi 2010, kemungkinan merupakan bencana terlama dalam sejarah gunung api di perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta ini. Gunung itu meletus pada Oktober 2010, dan timbunan material vulkaniknya berupa abu, pasir, kerikil dan batu di puncak, lereng, kaki gunung hingga kawasan sekitarnya, kini menjadi sumber bencana banjir lahar dingin.

Bencana sekunder dari gunung ini yaitu banjir lahar dingin, ternyata melebihi segalanya dibandingkan dengan bencana primer berupa letusan dan awan panas.

Banjir lahar dingin Merapi selama empat bulan terakhir dirasakan warga yang menjadi korban, dan pemerintah daerah serta pemerintah pusat maupun pihak-pihak lain yang terkait, merupakan bencana yang melelahkan. Air mata, harta benda, tenaga dan pikiran terkuras sepanjang hari, dan tidak diketahui sampai kapan.

Seribu lebih rumah warga, sejumlah infrastruktur berupa jembatan, jalan, irigasi dan ratusan hektare lahan pertanian mengalami kerusakan akibat bencana alam tersebut. Bahkan ratusan rumah penduduk kemungkinan tidak bisa lagi ditempati karena tertimbun tanah, pasir dan kerikil.

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta menyatakan potensi banjir lahar dingin masih akan terus terjadi, karena baru sekitar 30 persen material erupsi Merapi yang turun atau longsor menjadi lahar hujan.

"Material hasil erupsi Merapi yang masih berada di atas sekitar 70 persen. Ini masih akan terus menjadi ancaman selama musim hujan masih terjadi," kata Kepala BPPTK Yogyakarta Subandriyo.

Menurut dia, hujan dengan intensitas kurang dari 20 milimeter per jam sudah akan mampu menghanyutkan material erupsi Merapi menjadi lahar hujan, karena kondisi material yang sudah semakin jenuh.

Material hasil erupsi Merapi 2010 diperkirakan volumenya sekitar 140 juta meter kubik. BPPTK bahkan pernah menyebutkan diperlukan tiga musim hujan, atau tiga tahun untuk "menghabiskan" sekitar 70 persen material hasil erupsi yang masih berada di atas itu.

Terkait dengan ancaman banjir lahar tersebut, BPPTK telah memasang alat pemantau pergerakan lahar hujan di 12 sungai yang berhulu di Merapi. Namun, peralatan pemantau yang menjadi bagian dari sistem peringatan dini itu, hanya sebagian kecil dari upaya penyelamatan yang bisa dilakukan.

"Masyarakat harus terus waspada, terutama warga yang tinggal di daerah hilir, karena tebing sungai di hilir biasanya sudah rendah," katanya.

Jarak aman sekitar 300 meter dari bibir sungai, menurut dia perlu ditaati, bahkan jika perlu harus disesuaikan dengan kondisi di masing-masing wilayah.

"Membangun tanggul di kanan dan kiri bibir sungai bisa menjadi upaya jangka panjang, namun untuk keadaan darurat seperti sekarang, yang perlu dilakukan adalah memperhatikan jarak aman," katanya.

Jangkauan terjauh material kasar hasil erupsi Merapi yang hanyut sebagai lahar hujan terjadi di Kali Putih dan Kali Pabelan di wilayah Kabupaten Magelang (Jawa Tengah), dengan jangkauan material halus di kedua sungai itu telah mencapai jarak 40-50 kilometer.

Sedangkan di Kali Gendol di wilayah Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta), jangkauan material kasar mencapai daerah pertemuan antara Kali Gendol dengan Kali Opak, dengan material halus mencapai sekitar Candi Prambanan.

Oleh karena itu, BPPTK Yogyakarta masih menetapkan status "waspada" pada gunung setinggi 2.965 meter ini, dan tetap merekomendasikan kepada masyarakat untuk tidak beraktivitas di badan sungai, serta tidak melakukan pendakian.


Pemulihan Sampai 2014

Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dalam program pemulihan pascabencana Gunung Merapi akan dilaksanakan sampai 2013. "Pelaksanaannya dimulai Januari 2011 hingga 2013, dan maksimal sampai 2014," kata Bupati Sleman Sri Purnomo.

Ia mengatakan pemerintah kabupaten telah memulai upaya pemulihan melalui rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Merapi, dan ini memerlukan dukungan semua pihak, karena tidak mungkin dilakukan sendiri, mengingat keterbatasan sumber daya yang ada.

Menurut dia, bantuan fasilitas kesehatan juga sangat diperlukan untuk memantapkan dan mempertahankan pelayanan kesehatan.

"Bencana erupsi Merapi telah merusak sekitar 10 gedung puskesmas pembantu dan lima puskesmas di wilayah Kecamatan Pakem, Turi, Ngemplak, dan Cangkringan," katanya.

Ia mengatakan berbagai bantuan yang diterima Pemkab Sleman tentu akan semakin memotivasi masyarakat untuk menata kembali kehidupannya.

"Selain itu, bantuan tersebut juga memudahkan kami dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana erupsi Merapi," katanya.

Sedangkan untuk Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menurut bupatinya, Seno Samodro, rencana pembangunan untuk pemulihan daerah bencana pascaerupsi Gunung Merapi, sampai sekarang belum ada kejelasan, dan kemungkinan bakal mundur dari jadwal.

"Tahap pembangunan pemulihan daerah bencana pascaerupsi Merapi direncanakan dikerjakan pada April 2011. Namun, anggaran untuk rehabilitasi dan rekonstruksi hingga kini belum ada," kata bupati.

Menurut dia, pihaknya sudah menanyakan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait dengan pembangunan infrastruktur daerah bencana. Namun, BNPB justru mengatakan dana tersebut dikembalikan ke departemen teknis, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum (PU).

Ia mengatakan pihaknya saat mengkonfirmasi ke Kementerian PU, katanya belum ada dana yang masuk untuk pengerjaan infrastruktur, sehingga tidak dapat dilakukan dengan APBN Murni 2011.

Oleh karena itu, kata dia, secara logika dana untuk pengerjaan infrastruktur paling cepat harus menunggu APBN Perubahan pada September 2011.

Bupati menyayangkan BNPB yang selama ini selalu menjanjikan bahwa pemerintah akan mengucurkan bantuan guna menanggulangi bencana Merapi, termasuk di wilayah Kabupaten Boyolali.

Namun, menurut Seno, kenyataannya sampai sekarang belum ada informasi mengenai kejelasan dana yang masuk, sehingga penanganan pemulihan infrastruktur di daerah bencana dipastikan mundur dari rencana.

Pikirkan tentang apa yang telah Anda baca sejauh ini. Apakah itu memperkuat apa yang sudah Anda ketahui tentang Harga Jual Blackberry iPhone Laptop Murah? Atau ada sesuatu yang sama sekali baru? Bagaimana dengan paragraf yang tersisa?

Ia mengatakan dengan kondisi tersebut, membuat posisi dilematis bagi pemerintah daerah, karena pihaknya sebagai ujung tombak, harus berhadapan langsung dengan masyarakat. "Kami khawatir dianggap oleh masyarakat pembohong, karena bantuan yang dijanjikan mundur dari rencana. Padahal dana itu memang belum turun dari pusat," katanya.

Bupati menjelaskan, pemkab mengajukan dana untuk rehabilitasi daerah bencana yang terdampak erupsi Merapi di Boyolali senilai Rp127 miliar, meski kerugiannya mencapai sekitar Rp300 miliar.

"Salah satunya pembangunan infrastruktur seperti 18 jembatan di tiga kecamatan, yakni Selo, Musuk, dan Cepogo yang terputus akibat banjir lahar dingin," katanya.

Namun, kata Seno, anehnya justru alokasi dana untuk pemulihan bidang pendidikan melalui Kementerian Pendidikan Nasional lancar.


Rehabilitasi Sumber Daya Air

Rehabilitasi sumber daya air di kawasan Merapi di wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang rusak akibat bencana erupsi dan banjir lahar dingin diperkirakan memerlukan dana Rp24 miliar.

"Bencana erupsi Merapi yang diikuti bencana sekunder berupa banjir lahar dingin mengakibatkan kerusakan prasarana sumber daya air berupa talud, bendung, dan jaringan irigasi, yang seluruhnya sebanyak82 unit, dengan luas areal oncoran 8.145,48 hektare," kata Kepala Dinas Sumber Daya Air, Energi, dan Mineral Kabupaten Sleman Widi Sutikno.

Menurut dia, sementara ini diperkirakan biaya untuk perbaikan kerusakan tersebut mencapai sekitar Rp24 miliar, termasuk untuk perbaikan kerusakan mata air dan pipa jaringan distribusinya di sumber air "Umbul Wadon", "Umbull Bebeng", dan lainnya.

"Biaya untuk pemulihan sendiri diperkirakan mencapai lebih dari Rp19,5 miliar, ini belum termasuk kerusakan pascabanjir lahar dingin besar dalam sepekan terakhir," katanya.

Ia mengatakan saat ini memang belum dapat dilakukan perbaikan karena banjir lahar dingin masih terus terjadi.

"Biaya yang cukup besar juga diperlukan terutama untuk pengkajian penyusunan desain konstruksi yang lebih aman," katanya.

Widi mengatakan kerusakan sumber daya air meliputi aliran pada bendungan maupun jembatan yang tersumbat material vulkanik berupa batu besar, kerikil, pasir, lumpur, batang pohon yang hanyut dan rumpun bambu, serta intake irigasi yang tertimbun material dengan ketebalan sekitar tiga meter lebih.

"Kerusakan terjadi pada konstruksi dam, bendung serta jembatan, dari klasifikasi sedang sampai runtuh total, dan saluran irigasi juga banyak yang putus serta ambrol, begitu pula sawah dan sumber mata air yang tertimbun material vulkanik," katanya.

Ia mengatakan beberapa permasalahan yang dihadapi dalam upaya pemulihan di antaranya prasarana sumber daya air yang belum dapat berfungsi, sehingga berpotensi terganggunya aktivitas ekonomi berbasis air.

"Pemulihan sumber daya air itu sendiri baru bisa dilakukan setelah musim hujan berakhir, karena saat ini masih rawan terjadi banjir lahar dingin," katanya.

Penanganan yang akan dilakukan, kata dia di antaranya dengan membersihkan jembatan dari sumbatan material, mengembalikan aliran sungai yang berbelok dan berpindah, serta membuat tanggul dan sarana maupun prasarana darurat.


Sumur Tercemar

Widi Sutikno juga mengatakan sejumlah sumur warga di kawasan Gunung Merapi di Dusun Morangan, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, DIY, tercemar zat besi dari material vulkanik yang terbawa aliran Sungai Gendol.

"Semula ditengarai air sumur-sumur warga tersebut tercemar belerang, namun setelah kami lakukan penelitian bersama dengan Dinas Kesehatan, ternyata tercemar zat besi atau (Fe)," katanya.

Menurut dia, karena positif tercemar Fe, maka pihaknya dalam waktu dekat ini akan mencoba untuk melakukan pengurasan sumur-sumur tersebut untuk mengurangi kadar pencemaran air sumur milik warga.

"Kami akan meminjamkan pompa air untuk menguras sumur-sumur yang tercemar tersebut, sehingga air sumur dapat berganti dengan yang baru dan kadar pencemaran dapat berkurang. Mudah-mudahan setelah dikuras, air sumur warga tersebut kembali layak dikonsumsi," katanya.

Ia mengatakan pascabanjir lahar dingin besar pada 19 Maret dan 22 Maret 2011, kerusakan infrastruktur terutama tanggul sungai dan sarana irigasi semakin parah.

"Sebenarnya kerusakan ini terjadi sudah sejak awal banjir lahar dingin pada beberapa bulan lalu, namun dengan dua kejadian banjir lahar dingin besar yang terakhir, kerusakan menjadi semakin parah, seperti jembatan Kliwang yang tergerus pondasinya, maupun kerusakan di permukiman warga," katanya.

Widi mengatakan untuk perbaikan infrastruktur tersebut masih menunggu musim hujan berakhir sekitar pertengahan April 2011, sehingga terhindar dari kemungkinan diterjang banjir lahar dingin lagi.

"Namun, kami tidak dapat memastikan apakah pertengahan April nanti musim hujan benar-benar berakhir, karena tidak menutup kemunungkinan masih akan turun hujan di kawasan Merapi, sehingga terjadi banjir lahar dingin besar seperti kemarin," katanya.

Ia mengatakan saat ini yang menjadi prioritas adalah mengenai keselamatan warga yang tinggal di sekitar daerah aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi.

"Prioritas kami saat ini adalah keselamatan warga, yakni dengan membuat tanggul-tanggul pengamanan di aliran Sungai Opak maupun Gendol, serta mengarahkan aliran sungai agar tetap di jalurnya, dengan membuat `guide chanel` agar air tidak meluap ke permukiman warga," katanya.

Sedangkan bagi korban banjir lahar dingin yang rumahnya rusak parah dan tidak bisa dihuni lagi, kata dia diupayakan untuk mendapatkan "shelter" atau hunian sementara.

"Untuk rumah-rumah yang rusak ringan dan masih bisa dihuni, kami bantu untuk membersihkan dan memperbaikinya dengan dana gotong-royong atau dana sosial lainnya," katanya. (M008*E013/K004)

Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com