Surabaya (ANTARA News) - Tetralogi pertama novel bertajuk "The Souls: Moonlight Sonata" karya Endang Winarti alias Wina Bojonegoro membuktikan kekuatan musik dalam kehidupan manusia. "Musik adalah sesuatu, karena itu jangan meremehkan musik. Musiklah yang menyatukan para pecinta dan cintanya," kata Wina Bojonegoro kepada ANTARA di sela-sela peluncuran bukunya di Surabaya, Sabtu.

Iringan biola yang dimainkan Filesky dan aksi teaterikal Indri dari jurusan Teater SMKN 9 Surabaya pun memperkuat "pesan" yang ditargetkan dalam novel pertama dari empat yang direncanakan itu.

"Karena itu, saya ceritakan tentang biola legendaris atau stradivarius yang dimiliki keluarga Van Ros dengan lakon Padmaningrum. Ia selalu bermimpi memegang biola dan akhirnya ia menemukan di lemari rahasia," katanya.

Setelah itu, ia pun bisa memainkan biola yang akhirnya membawanya kepada serentetan peristiwa, roman atau mistik yang dapat disebut "mistikil roman."

"Dari serentetan peristiwa itu, Padmaningrum pun menjadi tahu jatidiri yang sebenarnya, ia merupakan anak siapa, dan seterusnya, sehingga tabir kehidupannya pun terbuka," katanya.

Tidak hanya itu, para "pakar" sastra pun hadir, di antaranya Suparto Brata (begawan sastra), Akhudiat (budayawan), Dr Sugeng Susilo Adi M.Hum M.Ed (dosen FIB Universitas Brawijaya Malang), dan M Shoim Anwar (cerpenis dan dosen Unesa Surabaya).

"Novel itu lahir setelah saya berusaha menulis selama 10 tahun dan nggak bisa, tapi dengan bantuan email, chatting, dan ngobrol dengan teman-teman akhirnya saya mampu menulis kisah Padmaningrum dalam empat bulan," katanya.

Menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Dr Sugeng Susilo Adi M.Hum M.Ed, membaca karya Wina Bojonegoro adalah membaca rangkaian kata-kata hidup yang magis mengalir lewat kalimat yang tali-temali menjadi paragraf yang hidup pula.

"Yang paling saya suka dari tulisan Wina Bojonegoro adalah monolog `aku` bahwa apa yang ada di dalam hati sang `aku` dia tampilkan dalam rangkaian kata-kata magis yang sangat-sangat enak disimak, karena terkadang nakal, menggelitik, filosofis, menyindir ke-`ego`-an kita," katanya.


Ketegangan budaya

Is everything making sense so far? If not, I'm sure that with just a little more reading, all the facts will fall into place.

Sementara itu, cerpenis M Shoim Anwar mengatakan hal menarik dalam karya Wina Bojonegoro adalah penggambaran karakter urban yang berwujud ketegangan budaya.

"Misalnya, ketegangan itu ada pada pemakaian Bahasa Inggris dan Indonesia yang mencerminkan ketegangan budaya modern dan tradisional," katanya.

Ketegangan budaya lainnya tampak pada "setting" cerita yang bermula dari tokoh asal Gandusari, Trenggalek yang kuliah di Yogyakarta dan akhirnya ke Jakarta.

"Yogyakarta adalah perantara modernitas dan Jakarta adalah modernitas itu sendiri. Tokoh Padma yang mudah kagum pada budaya lain juga menunjukkan ketegangan itu. Padma itu tradisional banget dengan adanya karakter minder, mudah kagum, rendah diri," katanya.

Apalagi, dia juga menemukan biola dengan cara yang gaib (tradisi), lalu dia memainkan dalam orkestra yang diiringi tarian Jawa (tradisi).

"Ketegangan budaya itu juga ditunjukkan saat perjodohan dan mimpi yang semuanya diarahkan ke ilmu kedokteran dan psikologis sebagai wakil dari budaya modern yang ilmiah," katanya.

Pandangan Shoim Anwar itu "diluruskan" budayawan Akhudiat. "Ketegangan itu ideosinkretik atau kegilaan, karena mengawinkan modern dengan tradisi itu sulit dan hanya ada dalam ide, bukan realita, seperti komputer dengan keris yang tak mungkin bertemu," katanya.

Namun, begawan sastra Suparto Brata menegaskan bahwa Wina Bojonegoro itu luar biasa, karena dia menulis cerita menjadi buku. "Buku itu tidak akan berumur pendek, seperti Ronggowarsito," katanya.

Pada hari yang sama, Direktur DBUKU Bibliopolis, Sasa Prasetiyadi, yang merancang acara peluncuran novel itu juga menggelar bedah buku tentang "Arsitektur Koprol" karya Prof Dr Ir Josef Prijotomo M.Arch dari ITS Surabaya.

"Buku itu melakukan dekonstruksi arsitek atau arsitek yang melongok lokalitas, sebab arsitek kita akhir-akhir ini berwajah Singapura, Prancis, dan kebarat-baratan, padahal kita punya yang lebih indah. Jadi, kita juga mengalami ketegangan budaya secara realitas," kata Sasa. (E011/D010/K004)

Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com